Salah satu aliran dalam ilmu Psikologi, yaitu: Behaviourisme, berpendapat bahwa reflek seseorang merupakan jawaban terhadap kondisi yang ada di luar dirinya. Jawaban atas tindakan itu bermuara pada perilaku dan tindakan. Melalui pemikiran aliran itu, kita mesti memahami bahwa tindakan atau perilaku seseorang itu tidaklah berdiri sendiri. Selalu ada kondisi di luar dirinya yang membentuk tindakan atau perilaku itu. Oleh aliran Psikologi Behaviourisme, inilah yang disebut dengan reflek – terkondisi. Hal inilah yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, khususnya yang tinggal di Jakarta dan sekitarnya.
Atas peristiwa teror beberapa hari lalu, berbagai ragam tindakan dan perilaku dapat kita lihat sebagai jawaban atas kondisi horor tersebut. Ada yang mengalami ketakutan, ada juga yang tidak terganggu sembari terus mengais rejeki (seperti penjual sate yang mengipas satenya di tengah kekalutan di Jl. MH. Thamrin). Sementara dari sudut pandang pelaku teror itu, tentu kondisi yang ada di luar dirinya (doktrinasi ideologis) merupakan faktor yang mempengaruhi cara berperilakunya. Cara berperilaku itu membuat dirinya ‘mampu’ dan ‘sanggup’ merampas hak hidup orang lain.
Aliran ilmu Psikologi Behaviourisme ini, juga dianut dalam ilmu Teologi, yakni Hermeneutika (penafsiran). Menurut ilmu Teologi, suatu Teks itu berdiri di tengah-tengah Konteks. Kedalaman makna sebuah Teks hanya dapat kita peroleh bila kita memahami Konteks. Konteks adalah kondisi ada di luar Teks, sementara Teks adalah jawaban terhadap Konteks. Banyak aliran Kekristenan yang tidak
menggunakan model ini dalam menafsirkan Alkitab, sehingga mereka melahirkan ajaranajaran triumfalistik, yakni: menggunakan suatu ayat Alkitab untuk menghakimi orang lain dan pada saat bersamaan membenarkan diri sendiri.
Bahaya ! Berbahaya bagi umat beragama bila Teks dan Konteks dibuat terpisah dalam menafsirkan ayat-ayat dalam Kitab Suci.
Ulil Absar Abdallah, seorong pemikir muda Islam, memiliki pendapat atas berbagai ragam aksi teroris. Aksi teroris yang sedang marak di berbagai belahan dunia saat ini merupakan imbas dari Ideologi Apokaliptik, yakni ideologi yang dibangun berdasar pada bayang-bayang kehidupan setelah hidup di dunia. Biasanya, ideologi Apokaliptik bertumbuh subur pada situasi perang, dimana kondisi perang mengakibatkan orang tidak melihat pemeliharaan kehidupan melainkan penaklukan.
Kondisi dunia sekarang justru mengingatkan kita untuk menghidupkan Ideologi Kehidupan. Ideologi Kehidupan mengajak setiap orang untuk berpartisipasi dalam merawat kehidupan sebagai pemberian Allah. Karena itu, yang terjadi sekarang adalah Ideologi Apokaliptik versi teroris, berhadapan dengan Ideologi Kehidupan. Tentu, kita harus berpihak pada ideologi kehidupan, sebab Allah sendiri pun sangat menghargai kehidupan. Penghargaan itulah yang menjadi faktor sehingga Allah memberikan otoritas perawatan kehidupan itu kepada manusia. Disini kita dapat melihat Kasih dan Keadilan Allah dalam menopang kehidupan itu sendiri. Sebenarnya model Ideologi Apokaliptik ini tidak hanya monopoli kaum teroris. Berbagai agama mengenal model ideologi apokaliptik, termasuk Kristen. Ciri-cirinya adalah, mengabaikan suatu yang lain di luar dirinya sebagai faktor pengubah diri, dari individu terbatas menjadi individu yang tidak berhingga. Penganut ideologi apokaliptik dapat dilihat dari berbagai cara berpikir, salah satu di antaranya bahwa baromoter kebenaran ada pada dirinya, yang berbeda dengan dirinya adalah lawan yang harus ditaklukkan. Ideologi Kehidupan justru berkata hal yang berbeda dengan teori penaklukan itu. Semua umat berpartisipasi dan saling menopang untuk merawat kehidupan ini. Untuk itulah, setiap gerakan saling penaklukan (termasuk teroris) adalah pihak yang bersebarangan dengan kehidupan, sekaligus telah berlawanan dengan dengan Kasih dan Keadilan Allah atas kehidupan ini. Lalu, bagaimana kita merespon hal ini semua ?
Kembali pada aliran psikologi Behaviourisme di atas –bahwa cara bertindak seseorang tidak terpisah dari kondisi di luar diri kita. Kita sadar, bahwa diri kita hanya individu yang terlalu kecil berbanding dengan keragaman di luar diri kita. Keragaman kondisi di luar diri kita merupakan konsekuensi penciptaan Allah atas kehidupan itu. Karena itu, kondisi di luar diri kita mesti disikapi secara bijak. Metode berpikir seorang Etikus, Emmanuel Levinas, dapat membantu kita memahami kondisi di luar diri. Yang lain (the others) merupakan perwujudan dari ketidakberhinggaan diri kita. Bahasa yang sangat sederhana, keterbatasan kita akan berubah menjadi ketidakterbatasan manakala yang lain itu diterima sebagai partner dalam merawat kehidupan. Metode berpikir seperti ini sangat jauh dari pemahaman kaum teroris. Namun, bila kita juga tidak mau menerima ‘yang lain’ itu, hakekat teror sebenarnya sudah melekat dalam pikiran. Hanya saja, tidakan kita belum melahirkan horor pisik bagi yang lain. Untuk itu, kita diajak untuk menerima yang lain sebagai respon atas kondisi di luar diri. Cara ini adalah salah satu bagi kita untuk berpartisipasi dalam Kasih dan Keadilan Tuhan. Amin.
(Pdt. Irvan Hutasoit)








